1.1 Cyber
Law
adalah aspek hukum yang artinya
berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi aspek-aspek yang
berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan
memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan
memasuki dunia cyber atau maya. Bisa diartikan cybercrime itu merupakan
kejahatan dalam dunia internet. Cyberlaw juga merupakan hukum yang terkait
dengan masalah dunia cyber. Di Indonesia saat ini sudah ada dua Rancangan
Undang-Undang (RUU) yang berhubungan dengan dunia cyber, yaitu RUU Pemanfaatan
Teknologi Informasi dan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Beberapa
orang menyebutnya Cybercrime kejahatan komputer. The Encyclopaedia Britannica
komputer mendefinisikan kejahatan sebagai kejahatan apapun yang dilakukan oleh
sarana pengetahuan khusus atau ahli penggunaan teknologi komputer. Computer
crime action Undang-Undang yang memberikan untuk pelanggaran-pelanggaran yang
berkaitan dengan penyalahgunaan komputer. BE IT diberlakukan oleh Seri Paduka
Baginda Yang di-Pertuan Agong dengan nasihat dan persetujuan dari Dewan Negara
dan Dewan Rakyat di Parlemen dirakit,dan oleh otoritas yang sama.
Cyber
crime merupakan salah satu bentuk fenomena baru dalam tindakan kejahatan, hal
ini sebagai dampak langsung dari perkembangan teknologi informasi. Cybercrime
adalah istilah umum, meliputi kegiatan yang dapat dihukum berdasarkan KUHP dan
undang-undang lain, menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan
dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak
properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi,
pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat.
komputer
sebagai diekstrak dari penjelasan Pernyataan dari CCA 1997 :
a)
Berusaha untuk membuat suatu pelanggaran hukum bagi setiap orang untuk
menyebabkan komputer untuk melakukan apapun fungsi dengan maksud untuk mendapatkan
akses tidak sah ke komputer mana materi.
b)
Berusaha untuk membuatnya menjadi pelanggaran lebih lanjut jika ada orang yang
melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam item (a) dengan maksud untuk
melakukan penipuan, ketidakjujuran atau menyebabkan cedera seperti yang
didefinisikan dalam KUHP Kode.
c)
Berusaha untuk membuat suatu pelanggaran bagi setiap orang untuk menyebabkan
modifikasi yang tidak sah dari isi dari komputer manapun.
d)
Berusaha untuk menyediakan bagi pelanggaran dan hukuman bagi komunikasi yang
salah nomor, kode, sandi atau cara lain untuk akses ke komputer.
e)
Berusaha untuk menyediakan untuk pelanggaran-pelanggaran dan hukuman bagi
abetments dan upaya dalam komisi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada butir
(a), (b), (c) dan (d) di atas.
f)
Berusaha untuk membuat undang-undang anggapan bahwa setiap orang memiliki hak
asuh atau kontrol apa pun program, data atau informasi lain ketika ia tidak
diizinkan untuk memilikinya akan dianggap telah memperoleh akses yang tidak sah
kecuali jika dibuktikan sebaliknyaKata “cyber” berasal dari “cybernetics,”
yaitu sebuah bidang studi yang terkait dengan komunikasi dan pengendalian jarak
jauh. Norbert Wiener merupakan orang pertama yang mencetuskan kata tersebut.
Kata pengendalian perlu mendapat tekanan karena tujuannya adalah “total
control.” Jadi agak aneh jika asal kata cyber memiliki makna dapat dikendalikan
akan tetapi dunia cyber tidak dapat dikendalikan.
Cyberlaw di Indonesia Inisiatif
untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus
utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai
transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis
yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya
yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan
kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak
terlaksana.
Untuk hal yang terkait dengan
transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan
konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal
ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce),
electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik
lainnya. Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga
hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal
yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di
dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking,
membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk
pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama
domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada
undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk
memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan.
Nama dari RUU ini pun berubah dari
Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi
RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini
dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang. Ada satu hal yang menarik
mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang
cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di
Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu
pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di
Indonesia, makaIndonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan
mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan
mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita
lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan
kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di
dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
Saat ini berbagai upaya telah
dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan
yang berhubungan dengan computer-related crime, di mana pada tahun 1986 OECD
telah mempublikasikan laporannya yang berjudul Computer-Related Crime: Analysis
of Legal Policy. Laporan ini berisi hasil survey terhadap peraturan
perundang-undangan Negara-negara Anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam
menanggulangi computer-related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem
telekomunikasi juga memiliki peran penting dalam kejahatan tersebut.
Melengkapi laporan OECD, The
Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan
tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil
kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang
berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan
keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan
proteksi terhadap computer-related crime tersebut.
Pada perkembangannya, CE membentuk
Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems,
yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on
Cyber-crime sebagai hasil kerjanya ( http://www.cybercrimes.net), yang menurut Prof.
Susan Brenner (brenner@cybercrimes.net) dari University of Daytona School of
Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan
aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat
dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan
sejenis.
Dari berbagai upaya yang dilakukan
tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam
penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional.
Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam
penanggulangan cybercrime adalah:
• Melakukan modernisasi hukum pidana
nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi
internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
• Meningkatkan sistem pengamanan jaringan
komputer nasional sesuai standar internasional
•Meningkatkan pemahaman serta keahlian
aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan
perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
•
Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta
pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi
•
Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun
multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian
ekstradisi dan mutual assistance treaties
sumber : http://noviaasti.blogspot.com/2013/03/perbedaan-cyber-law-dengan-computer.html
sumber : http://noviaasti.blogspot.com/2013/03/perbedaan-cyber-law-dengan-computer.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar